Kamis, 14 Juni 2012

TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI KONFLIK


Teori fungsionalisme structural merupakan salah satu dari empat varian teori yang tergabung dalam paradigma fakta social. Teori ini menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Dalam teori fungsionalisme structural dikenal sebagai integration approach, order approach, dan equilibrium approach, menekankan keteraturan sebagai sumber integrasi dan keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sisitem social, fungsional terhadap yang lain, secara ekstrim dapat digambarkan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Sementara para ahli konflik sangat berbeda dengan pandangan dalam teori fungsional structural, mereka menekankan konflik sebagai sumber perubahan, lahirnya teori konflik merupakan suatu reaksi terhadap teori fungsionalisme structural, dimana konsep sentralnya adalah adanya wewenang dan posisi yang keduanya merupakan fakta social. Menurut pandangan teori ini adalah bahwa adanya distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata dapat menjadi faktor pemicu terbentuknya konflik secara sistematis.
Thomas Bernard menempatkan kedua teori ini kedalam dalam konteks pembahasan yang lebih luas antara teori consensus (salah satu diantaranya adalah fungsionalisme structural) dan teori konflik (salah satu diantaranya adalah teori konflik). Teori consensus memandang norma dan nilai sebagai landasan masyarakat, memusatkan perhatiannya pada kepada keteraturan social berdasarkan atas kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan social terjadi secara lambat dan teratur. Sebaliknya, teori konflik menekankan pada dominasi kelompok social tertentu oleh kelompok lain, melihat keteraturan social didasarkan atas perubahan manipulasi dan control oleh kelompok dominan dan memandang perubahan social terjadi secara cepat dan menurut cara yang tak teratur ketika kelompok-kelompok subordinat menggulingkan kelompok yang semula dominan. Benard bahkan melacak akar perdebatan tersebut ke masa yunani kuno (juga perbedaan antara Plato [ consensus] dan Aristoteles [Konflik].
Adapun dalam paradigma fungsional beberapa teori menurut beberapa ahli seperti teori stratifikasi fungsional yang diungkapkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945) yang menjelaskan bahwa mereka menganggap stratifikasi social sebagai fenomena universal dan penting. Mereka menyatakan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali  tanpa kelas. Menurut pandangan mereka stratifikasi adalah keharusan fungsional. semua masyarakat memerlukan system seperti keperluan ini menyebabkan adanya system stratifikasi.
Selain itu fungsionalisme structural Tallcot Parsons dapat dilihat dari pembahasannya tentang empat fungsi penting untuk semua system “tindakan” yang terkenal dengan skema AGIL. AGIL. Suatu fungsi (function) adalah “Kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan system (Rocher,1975:40) dalam teori ini Parson yakin bahwa ada empat fungsi penting yang dibutuhkan dalam sebuah system yakni Adaptation (A), Goal Attainment (G), Integration (I), Latensi (L). Agar system dapat bertahan maka system tersebut  harus memiliki empat fungsi tersebut.
Dalam teori fungsionalisme structural memiliki titik prioritas pada keteraturan social dan sedikit memperhatikan masalah perubahan social seperti asumsi yang di kemukakan oleh Parson :
1.       System memiliki property keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2.       System cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan-diri atau keseimbangan.
3.       System mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4.       Sifat dasar bagian suatu system berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian yang lain.
5.       System memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6.       Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan system.
7.       System cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan system, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah system dari dalam.
 Parson adalah seorang fungsionalis structural yang sangat penting adalah muridnya, Robert Merton yang menulis beberapa peryataan terpenting tentang fungsionalis structural dalam sosiologi(Stompka,2000;Tiryakian,1991. Walaupun Parson dan Merton adalah tokoh dalam fungsional structural akan tetapi keduanya terdapat perbedaan penting.
Merton menjelaskan bahwa analsis structural-fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kultur. Ia menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis structural fungsional tentu mencerminkan hal standar (artinya terpola dan berulang) (Merton,1949/1968;104). Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (laten ). Kedua istilah ini  memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Menurut pengertian sederhana, fungsi nyata adalah fungsi yang di harapkan, sedangkan fungsi yang tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan . merton kemudian menjelaskan bahwa akibat yang diharapkan tidak sama dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah suatu jenis dari akibat yang tak diharapkan, satu jenis fungsional untuk system tertentu, tetapi ada dua tipe lain dari akibat yang tidak diharapkan : yang disfungsional untuk system tertentu dan ini terdiri dari disfungsi tersembunyi dan tidak relevan dengan system yang dipengaruhinya baik secara fungsional atau disfungsional atau konsekuensi nonfungsionalnya.
Dalam fungsionalis structural dikenal juga teori tentang Stuktur social dan anomie yang disumbangkan oleh Merton yakni analisis mengenai hubungan antar kultur, struktur, dan anomie. Merton mendefenisikan kultur sebagai seperangkat nilai normative yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok. Struktur social adalah seperangkat hubungan social yang terorganisir yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok didalamnya. Anomie terjadi bila ada keputusan hubungan antara norma cultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara social dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai cultural. Artinya bahwa karena posisi mereka didalam struktur social masyarakat beberapa orang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normative. Kultur menghendaki tipe prilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur social.
Pembahasan tersebut diatas adalah gambaran tentang teori fungsional structural, seperti yang telah kita ketahui bersama adalah teori fungsional structural melahirkan sebuah reaksi sehingga lahirlah teori konflik yang berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme structural dan akibat berbagai kritik dari teori fungsional structural. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik social dari Simmel. Masalah mendasar dalam  teori konflik adalah teori tersebut tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar structural fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme structural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakat.
Terdapat begitu banyak perbedaan dari kedua paradigma teori ini  seperti dalam karya Dahrendorf (1958,2959). Menurut fungsionalis masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang, namun menurut Dahrendorf dan teoritisi konflik lainnya ; setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam system social. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teoritisi konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap diintegrasi dan perubahan. Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral namun teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas. Fungsionalis memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat  dan teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Dahrendorf mengatakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yaitu konflik dan consensus, hal inilah yang mendorong adanya pemisahan antara konflik dan consensus. Dalam kerangka pikir dalam bukunya The Functions of Social Conflict, Coser mengatakan bahwa “suatu konflik dikatakan fungsional selama tidak menyentuh atau tidak berkaitan dengan inti suatu system. Dan suatu konflik yang terjadi kemudian meronrong eksistensi inti suatu system, maka konflik itu sifatnya disfungsional. Coser mengemukakan beberapa fungsi konflik. Pertama, konflik dapat menciptakan integrasi dalam in group. Pada dasarnya konflik memiliki kekuatan integratif maksudnya dapat mengintegrasikan anggota yang sebelumnya terjadi konflik dengan out group, kohesi social atau integrasi social sangat lemah. Namun pada saat terjadi konflik dengan pihak luar, maka secara spontan anggota kelompok memperkuat integrasi social untuk menghadapi lawan dari luar (out group). Fenomena seperti ini terjadi karena pada dasarnya setiap manusia memiliki sense of belonging terhadap kelompoknya, dan sense of belonging ini biasanya diikat oleh suatu keyakinan dan nilai yang sama diantara anggota, sehingga ketika nilai dan keyakinan itu disentuh maka secara spontan mereka akan melawan secara kolektif.
Hal tersebut dapat dilihat ketika Malysia mengklaim pulau Ambalat di Kalimantan Timur sebagai bagian dari daerah teritorialnya, maka secara spontan ribuan masyarakat Indonesia yang berasal dari latar belakang suku, entnis, profesi mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan relawan merah putih. Hal ini mendapatkan respon secara nasional, padahal kita mengetahui persis bahwa pada masa itu bangsa kita berada pada krisis integrasi yang sangat memprihatinkan.
Kedua teori tersebut menuai beberapa kritik seperti dalam teori konflik dikritisi karena teori ini mengabaikan ketertiban dan stabilitas, dan fungsional structural mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik berideologi radikal dan fungsional dikritik dengan ideology konservatifnya. 


sumber : dikutip dari Ritzer

1 komentar:

  1. bagaimana pula dengan teori fungsionalisme strukturul oleh claude levi-strauss?

    BalasHapus